Perubahan
iklim yang terjadi secara global dipercaya memiliki dampak luas bagi
kehidupan makhluk hidup di bumi. Perubahan iklim yang terjadi dipicu
oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi.
Salah satu respon awal masyarakat dunia untuk menanggulangi perubahan
iklim adalah dengan mendeklarasikan Protokol Kyoto pada konvensi
perubahan iklim (UNFCCC) yang merupakan instrumen hukum guna mengurangi
konsentrasi GRK agar tidak mengganggu sistem iklim di bumi.
UNFCCC mengeluarkan beberapa mekanisme dalam menanggulangi dan
menanggapi perubahan iklim yang terjadi. Dalam Protokol Kyoto,
satu-satunya mekanisme yang memungkinkan bagi negara berkembang untuk
membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK adalah melalui Clean Development Mechanism
(CDM) atau dalam bahasa Indonesia diartikan dengan “mekanisme
pembangunan bersih”. Namun seiring dengan berjalannya waktu, mekanisme
ini dianggap tidak mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi dan
akibatnya muncul ide baru yaitu program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang dapat diartikan sebagai “pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan”.
Program REDD lahir pada Conference of Parties (COP) 13 tahun
2007 di Bali. Program ini difokuskan untuk menanggulangi perubahan
iklim (mitigasi) dengan fondasi kuat pada sektor penggunaan lahan dan
kehutanan. Program REDD kemudian berkembang menjadi REDD+ pada COP 15 di
Kopenhagen dengan adanya fokus tambahan yaitu konservasi hutan,
peningkatan cadangan karbon, dan pengelolaan hutan lestari. Indonesia
yang kaya akan hutan, melalui REDD+ telah berkomitmen mengurangi emisi
nasional sebesar 26 % dan 41 % dengan bantuan pihak lain pada tahun 2020
(Puspijak 2012).
Hutan di Indonesia sendiri merupakan sumber daya yang sangat penting
dan menjadi paru-paru dunia. Luas daratan Indonesia sekitar 191 juta
hektar dan lebih dari 58 % berupa hutan. Peran utama hutan adalah
menyerap gas rumah kaca (GRK) terutama karbon yang ada di atmosfer. Dengan
perannya ini, hutan dapat mencapai tujuan konvensi perubahan iklim
dalam menjaga konsentrasi GRK agar tidak membahayakan sistem iklim
global. Jika hutan rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan
liar, maka akan menambah jumlah emisi GRK di atmosfer.
Berdasarkan data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan Kementerian
Lingkungan Hidup pada National Communicati 1997, aktivitas perubahan
lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar pada emisi GRK
sebesar 63% (KLH 1997). Dalam laporan Puspijak-Litbang Kementerian
Kehutanan tahun 2012 juga menyebutkan bahwa dalam pemenuhan target
penurunan 26% emisi, sektor kehutanan memiliki angka potensial yang
cukup tinggi sekitar 31,15 juta ton karbon. Angka ini diperoleh
berdasarkan penelitian dengan menjalankan tiga program utama seperti
pengendalian perambahan, penanaman Hutan Kemasyarakatan serta
rehabilitasi hutan dan lahan. Tiga sektoral ini mampu menyerap karbon di
atmosfer di atas 100 juta ton karbon. Untuk itulah hutan Indonesia
diharapkan dunia dapat membantu target konvensi perubahan iklim dalam
hal penurunan dan penyerapan emisi di atmosfer. Sehingga kemudian
kondisi iklim masa depan semakin membaik untuk kehidupan masyarakat
dunia.
0 comments:
Post a Comment